Selasa, 16 September 2008

REVIEW BUKU

MAX SCHELER : ETIKA FENOMENOLOGI NILAI
(Tulisan Dr. Mudji Sutrisno SJ, dalam Buku 70 Tahun Toety Heraty, Pawai Kehidupan, Sumbangan tulisan dari sahabat, kawan, rekan tercinta dan terhormat, Penerbit Yayasan Mitra Budaya Indonesia, 2003)
Oleh : Rakhmani

A. Fenomenologi Nilai Max Scheler :
Max Scheler dalam bukunya “Formalism in Ethics and Non Formal-Ethics of Value” sebagaimana diterjemahkan Manfred S. Frigs dan Roger C. Funk, Evaston ; Northwestern University Press, 1973 hal. 202-203, membedakan 3 (tiga) jenis fakta, yaitu : fakta natural (hasil pengenalan indera, berupa benda-benda kongkrit dari “natura/nature”, fakta ilmiah (abstraksi dari pengetahuan kongkret inderawi yang bisa diformalkan dalam rumusan abstraksi simbolik) dan fakta fenomenologis (lewat intuisi dikenali langsung hakekat fenomen atau yang menggejala ke kita).
Scheler secara khusus mengamati pengalaman emosi sebagai kajian fenomenologi ketika orang mengalami nilai secara emosional terarah atau tensional yang dirangkumnya sebagai intuisi emosi langsung.
Pokok-pokok etika nilai Max Scheler, antara lain : (1) Scheler mengoreksi formalisme deontologis etika Kant yang menolak etika teleologis dan etika kebaikan tetapi ia sependapat dengan Kant bahwa mendasarkan diri pada moralitas prinsip kebaikan itu tidak sahih karena berubah terus dan dinamis serta relatif karena mendasarkan diri pada sesuatu yang tidak rigoris kekal, (2) hal yang baik (good) secara obyektif tetap berharga, (3) nilai adalah kualitas tertentu yang tidak tergantung legitimasinya pada si pembawa maupun tanggapan orang terhadapnya, (4) yang baik (guter) pada dasarnya adalah yang bernilai (werdinge), kualitas nilai tidak berubah dengan adanya perubahan benda/barang begitu pula dengan perubahan pembawanya (nilai pada persfektif ini sebagai kualitas mewujud nyata menjadi riil dan ideal objects, (5) terdapat hirarki nilai dengan realitas tersusun bertingkat (yang satu lebih tinggi daripada yang lain berdasarkan “the act of preferring” (preferensi nilai intinya). Keempat tingkatan hirarki tersebut antara lain : (a) nilai kenikmatan (pleasant) dan yang tidak nikmat, (b) nilai hidup (luhur dan nista), (c) nilai spiritual (cinta dan benci), dan (d) nilai suci dan profan.
Pengukuran hirarki nilai dilakukan melalui : (1) bertahan secara intrinsik lama dan terus menerus, (2) ketidakterbagian (indivisibility), (3) keterkaitan dengan nilai lain secara relatif (nilai guna terkait dengan nilai nikmat), (4) kepuasan batin, (5) kedekatannya dengan “Sang Maha Bernilai” (semakin tinggi dan dekat dengan kualitas tertinggi paling bernilai maka akan semakin tingkat atau hirarkinya.

B. Fenomenologi Nilai : Konteks Masalah
Arti nilai menurut Filsuf A. Lalande dalam “Dizionario Critico di Filosofia”, ISEDI Milano, 1971, hal. 966-967) terbagi atas dua garis besar, yaitu : (1) arti objektif, berupa sifat khas, watak khusus hal, benda atau apa saja yang membuat hal tersebut lebih atau kurang layak dihargai, dinilai dan dimuliakan (stimare), (2) arti subjektif nilai, ciri khas hal tersebut yang membuatnya lebih atau kurang dihargai oleh si subjek atau sekelompok (yang sedang menilai hal tersebut).
Karena nilai berkategori objektif dan subjektif maka menimbulkan interpretasi yang berbeda memandang sesuatu apakah bernilai atau tidak, jalan terbaik untuk sampai ke unsur-unsur esensial nilai hanya bisa ditempuh melalui verifikasi (Verificare), artinya secara formal dan mendasar bertanya apa itu unsur-unsur esensi nilai?
Terdapat empat unsur penyusunan dasar nilai, yaitu : unsur yang berasal dari objek (faktor unsur kegunaan/manfaat “utility” dan faktor unsur kepentingan “importance” dan unsur yang berasal dari subjek (unsur kebutuhan “need” dan unsur penilaian/penafsiran dan penghargaan “estimation”).
Dalam pandangan lain sebagaimana dikemukakan Y. Gorby dalam “Belle Valuer”, Vander/Nauwelaerts, Louvain, hal. 59 dan seterusnya, bahwa pembentuk keempat unsur nilai tersebut diatas, dalam pemahaman “ekstrem-ekstrem”nya : (1) privation (terjadi apabila ada kekurangan nilai sebagai objek pada diri yang mengingini), (2) transendensi (kondisi ekselen atau superioritas dari nilai, sebagai objek, dalam hubungannya dengan si subjek/pengagum. Bahasa mudahnya, nilai (hal) tertentu itu begitu “mencekam” sehingga mengatasi “menguasai” si subjek.
Nilai-nilai dapat diklasifikasikan menurut : (1) nilai intrinsik (ontologis), yaitu harga yang dipandang vital, penting demi “adanya” si benda/hal tersebut, didalamnya terkandung unsur kegunaan (utilitas), kepentingan dan penilaian serta interst, contoh : dinamo untuk mobil, (2) nilai ekstrinsik adalah kualitas bagi suatu hal yang dipandang berguna, perlu menarik demi kelangsungan adanya yang lain, mengandung dimensi ekstensial hal-hal untuk si subjek, contoh : obat merupakan nilai ekstrinsik bagi orang sakit. Dalam tataran lebih lanjut, nilai ekstrinsik dapat dibagi lagi dalam : nilai tindakan dengan nilai dalam potensi, nilai natur (alami) dengan nilai budaya dan nilai ekonomi dengan nilai spiritual.
S. Agustinus dalam “De Doctrina Christiana”, I, Cc 2-3, menggambarkan skema umum, dunia pengertian dibagi dalam dua bagian kelompok : (1) dunia tanda (stigma) meliputi : kata, bahasa, symbol-symbol, sakramen-sakramen, (2) dunia hal-hal, meliputi : (a) hal-hal yang berguna, (b). hal-hal yang menyenangkan, (c) hal-hal yang baik, berguna dan menyenangkan. Hal-hal yang menyenangkan membuat kita bahagia, sementara hal-hal yang berguna membantu kita menuju dan mengikuti kebahagiaan.
Sementara J. De Finance (filsuf Pramcis) dalam “Etica Generale”, Bari, 1975, hal. 54-57, membagi nilai berdasarkan aspek yang berkaitan dengan spiritual manusia, bahwa semakin tinggi dan baik salah satu nilai maka semakin berkaitlah ia dengan aspek spiritual manusia yang lebih tinggi. Klasifikasi nilai-nilai dimaksud antara lain : (1) nilai-nilai pra-manusiawi (pra human), berlaku untuk manusia tetapi tak membuatnya manusiawi (nilai-nilai hedonis dan biologis), (2) nilai-nilai manusiawi pra-moral (human value pra-moral), berkaitan dengan kepentingan sosial atau kultural (nilai-nilai ekonomis, intelektual dan nilai-nilai etis), (3) nilai-nilai moral (moral value), meliputi : nilai-nilai yang merupakan tindak pelaksanaan kebebasan dalam realisasinya terhadap kewajiban (duty) dan kebaikan (4) nilai-nilai spiritual dan religius, berupa : nilai-nilai dalam lingkup yang “suci” dan “Tuhan”.
Lain halnya dengan Erich Fromm dalam “Having and Being”, 1977, membagi nilai dalam dua ringkasan : (1) nilai-nilai ekonomis, yang menyangkut dunia/lingkup kepemilikan (having), keberadaan di dunia dengan kecendrungan mau memiliki semua, (2) nilai-nilai entitatif, yang menyangkut “being”, nilai ini dasariah demi eksistensi sama dengan “being” sebagai ruang keberadaan di dunia dengan nilai-nilai yang mengembangkan pribadi.Dalam perkembangan masyarakat modern, beberapa antropolog dan filsuf mengembangkan teori relativitas, bahwa nilai untuk mereka, seperti halnya unsur kebudayaan, merupakan buah keringat dari “genealitas” salah satu bangsa tertentu yang mengembangkannya dan memaklumkannya di luar, manusia sebagai aku, yang di satu pihak bagian dari alam dalam struktur psikofisik, organismenya dan di lain pihak tetap sebagai si aku otonom dengan kebebasannya.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Salam kenal dari www.taufik79.wordpress.com