Selasa, 16 September 2008

REVIEW BUKU

MAX SCHELER : ETIKA FENOMENOLOGI NILAI
(Tulisan Dr. Mudji Sutrisno SJ, dalam Buku 70 Tahun Toety Heraty, Pawai Kehidupan, Sumbangan tulisan dari sahabat, kawan, rekan tercinta dan terhormat, Penerbit Yayasan Mitra Budaya Indonesia, 2003)
Oleh : Rakhmani

A. Fenomenologi Nilai Max Scheler :
Max Scheler dalam bukunya “Formalism in Ethics and Non Formal-Ethics of Value” sebagaimana diterjemahkan Manfred S. Frigs dan Roger C. Funk, Evaston ; Northwestern University Press, 1973 hal. 202-203, membedakan 3 (tiga) jenis fakta, yaitu : fakta natural (hasil pengenalan indera, berupa benda-benda kongkrit dari “natura/nature”, fakta ilmiah (abstraksi dari pengetahuan kongkret inderawi yang bisa diformalkan dalam rumusan abstraksi simbolik) dan fakta fenomenologis (lewat intuisi dikenali langsung hakekat fenomen atau yang menggejala ke kita).
Scheler secara khusus mengamati pengalaman emosi sebagai kajian fenomenologi ketika orang mengalami nilai secara emosional terarah atau tensional yang dirangkumnya sebagai intuisi emosi langsung.
Pokok-pokok etika nilai Max Scheler, antara lain : (1) Scheler mengoreksi formalisme deontologis etika Kant yang menolak etika teleologis dan etika kebaikan tetapi ia sependapat dengan Kant bahwa mendasarkan diri pada moralitas prinsip kebaikan itu tidak sahih karena berubah terus dan dinamis serta relatif karena mendasarkan diri pada sesuatu yang tidak rigoris kekal, (2) hal yang baik (good) secara obyektif tetap berharga, (3) nilai adalah kualitas tertentu yang tidak tergantung legitimasinya pada si pembawa maupun tanggapan orang terhadapnya, (4) yang baik (guter) pada dasarnya adalah yang bernilai (werdinge), kualitas nilai tidak berubah dengan adanya perubahan benda/barang begitu pula dengan perubahan pembawanya (nilai pada persfektif ini sebagai kualitas mewujud nyata menjadi riil dan ideal objects, (5) terdapat hirarki nilai dengan realitas tersusun bertingkat (yang satu lebih tinggi daripada yang lain berdasarkan “the act of preferring” (preferensi nilai intinya). Keempat tingkatan hirarki tersebut antara lain : (a) nilai kenikmatan (pleasant) dan yang tidak nikmat, (b) nilai hidup (luhur dan nista), (c) nilai spiritual (cinta dan benci), dan (d) nilai suci dan profan.
Pengukuran hirarki nilai dilakukan melalui : (1) bertahan secara intrinsik lama dan terus menerus, (2) ketidakterbagian (indivisibility), (3) keterkaitan dengan nilai lain secara relatif (nilai guna terkait dengan nilai nikmat), (4) kepuasan batin, (5) kedekatannya dengan “Sang Maha Bernilai” (semakin tinggi dan dekat dengan kualitas tertinggi paling bernilai maka akan semakin tingkat atau hirarkinya.

B. Fenomenologi Nilai : Konteks Masalah
Arti nilai menurut Filsuf A. Lalande dalam “Dizionario Critico di Filosofia”, ISEDI Milano, 1971, hal. 966-967) terbagi atas dua garis besar, yaitu : (1) arti objektif, berupa sifat khas, watak khusus hal, benda atau apa saja yang membuat hal tersebut lebih atau kurang layak dihargai, dinilai dan dimuliakan (stimare), (2) arti subjektif nilai, ciri khas hal tersebut yang membuatnya lebih atau kurang dihargai oleh si subjek atau sekelompok (yang sedang menilai hal tersebut).
Karena nilai berkategori objektif dan subjektif maka menimbulkan interpretasi yang berbeda memandang sesuatu apakah bernilai atau tidak, jalan terbaik untuk sampai ke unsur-unsur esensial nilai hanya bisa ditempuh melalui verifikasi (Verificare), artinya secara formal dan mendasar bertanya apa itu unsur-unsur esensi nilai?
Terdapat empat unsur penyusunan dasar nilai, yaitu : unsur yang berasal dari objek (faktor unsur kegunaan/manfaat “utility” dan faktor unsur kepentingan “importance” dan unsur yang berasal dari subjek (unsur kebutuhan “need” dan unsur penilaian/penafsiran dan penghargaan “estimation”).
Dalam pandangan lain sebagaimana dikemukakan Y. Gorby dalam “Belle Valuer”, Vander/Nauwelaerts, Louvain, hal. 59 dan seterusnya, bahwa pembentuk keempat unsur nilai tersebut diatas, dalam pemahaman “ekstrem-ekstrem”nya : (1) privation (terjadi apabila ada kekurangan nilai sebagai objek pada diri yang mengingini), (2) transendensi (kondisi ekselen atau superioritas dari nilai, sebagai objek, dalam hubungannya dengan si subjek/pengagum. Bahasa mudahnya, nilai (hal) tertentu itu begitu “mencekam” sehingga mengatasi “menguasai” si subjek.
Nilai-nilai dapat diklasifikasikan menurut : (1) nilai intrinsik (ontologis), yaitu harga yang dipandang vital, penting demi “adanya” si benda/hal tersebut, didalamnya terkandung unsur kegunaan (utilitas), kepentingan dan penilaian serta interst, contoh : dinamo untuk mobil, (2) nilai ekstrinsik adalah kualitas bagi suatu hal yang dipandang berguna, perlu menarik demi kelangsungan adanya yang lain, mengandung dimensi ekstensial hal-hal untuk si subjek, contoh : obat merupakan nilai ekstrinsik bagi orang sakit. Dalam tataran lebih lanjut, nilai ekstrinsik dapat dibagi lagi dalam : nilai tindakan dengan nilai dalam potensi, nilai natur (alami) dengan nilai budaya dan nilai ekonomi dengan nilai spiritual.
S. Agustinus dalam “De Doctrina Christiana”, I, Cc 2-3, menggambarkan skema umum, dunia pengertian dibagi dalam dua bagian kelompok : (1) dunia tanda (stigma) meliputi : kata, bahasa, symbol-symbol, sakramen-sakramen, (2) dunia hal-hal, meliputi : (a) hal-hal yang berguna, (b). hal-hal yang menyenangkan, (c) hal-hal yang baik, berguna dan menyenangkan. Hal-hal yang menyenangkan membuat kita bahagia, sementara hal-hal yang berguna membantu kita menuju dan mengikuti kebahagiaan.
Sementara J. De Finance (filsuf Pramcis) dalam “Etica Generale”, Bari, 1975, hal. 54-57, membagi nilai berdasarkan aspek yang berkaitan dengan spiritual manusia, bahwa semakin tinggi dan baik salah satu nilai maka semakin berkaitlah ia dengan aspek spiritual manusia yang lebih tinggi. Klasifikasi nilai-nilai dimaksud antara lain : (1) nilai-nilai pra-manusiawi (pra human), berlaku untuk manusia tetapi tak membuatnya manusiawi (nilai-nilai hedonis dan biologis), (2) nilai-nilai manusiawi pra-moral (human value pra-moral), berkaitan dengan kepentingan sosial atau kultural (nilai-nilai ekonomis, intelektual dan nilai-nilai etis), (3) nilai-nilai moral (moral value), meliputi : nilai-nilai yang merupakan tindak pelaksanaan kebebasan dalam realisasinya terhadap kewajiban (duty) dan kebaikan (4) nilai-nilai spiritual dan religius, berupa : nilai-nilai dalam lingkup yang “suci” dan “Tuhan”.
Lain halnya dengan Erich Fromm dalam “Having and Being”, 1977, membagi nilai dalam dua ringkasan : (1) nilai-nilai ekonomis, yang menyangkut dunia/lingkup kepemilikan (having), keberadaan di dunia dengan kecendrungan mau memiliki semua, (2) nilai-nilai entitatif, yang menyangkut “being”, nilai ini dasariah demi eksistensi sama dengan “being” sebagai ruang keberadaan di dunia dengan nilai-nilai yang mengembangkan pribadi.Dalam perkembangan masyarakat modern, beberapa antropolog dan filsuf mengembangkan teori relativitas, bahwa nilai untuk mereka, seperti halnya unsur kebudayaan, merupakan buah keringat dari “genealitas” salah satu bangsa tertentu yang mengembangkannya dan memaklumkannya di luar, manusia sebagai aku, yang di satu pihak bagian dari alam dalam struktur psikofisik, organismenya dan di lain pihak tetap sebagai si aku otonom dengan kebebasannya.

Senin, 15 September 2008

REVIEW BUKU

Social Development : The Developmental Perspektive
in Social Welfare by James Midgley

(Pembangunan Sosial Persfektif Pembangunan Dalam
Kesejahteraan Sosial oleh James Midgley) “Materi tentang Pendahuluan dan Definisi Pembangunan Sosial”

oleh : Rakhmani


A. Materi Pendahuluan :
Pada bab pendahuluan dibahas secara umum suatu pendekatan untuk mengangkat kesejahteraan manusia, yang dikenal dengan istilah pembangunan sosial. Pembangunan sosial dalam persfektif ini menawarkan sebuah pendekatan yang tidak hanya mempertimbangkan realitas ekonomi secara luas melainkan juga aktif mempromosikan pembangunan.
Kenyataan memperlihatkan bahwa kemiskinan yang cukup besar di negara maju merupakan salah satu hal yang sangat problematik pada proses pembangunan. Kenyataan menunjukkan bahwa di beberapa belahan dunia, pembangunan ekonomi belum diiringi dengan hadirnya kemajuan sosial, fenomena ini dikenal dengan istilah “pembangunan yang terdistorsi”. Artinya, bahwa pembangunan ekonomi tidak seimbang dengan pembangunan sosial. Di negara-negara ini, masalahnya bukan pada pembangunan ekonomi semata tetapi lebih karena kegagalan mengharmonisasi tujuan-tujuan pembangunan sosial dan ekonomi, dan juga karena kegagalan dalam memastikan bahwa keuntungan dari kemajuan ekonomi ini juga dapat menjangkau masyarakat secara keseluruhannya. Singkatnya, adanya lapisan masyarakat yang tidak mendapatkan keuntungan dari pertumbuhan sosial. Kasus yang cukup menonjol adalah apa yang terjadi di Inggris dan Amerika Serikat. Pada dunia ketiga, apa yang terjadi pada Amerika Latin, Afrika (Namibia dan Gabon) dan Asia, terutama terjadi pada negara dimana perbaikan ekonomi dicapai melalui eksploitasi sumber daya alam.
Selain masalah kemiskinan, pembangunan yang terdistorsi, berwujud dalam bentuk : rendahnya tingkat kesehatan, permukiman yang tidak layak, rendahnya partisipasi/keterlibatan masyarakat dalam pembangunan (sebagai akibat diskriminasi ras dan etnis minoritas dalam peningkatan standar hidup), penindasan kaum perempuan, eksploitasi anak untuk bekerja (demi menyokong ekonomi keluarga), degradasi lingkungan (sebagai akibat eksploitasi sumber daya alam bagi kepentingan pembangunan).
Beberapa negara sebagai perbandingan yang memiliki keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan sosialnya justru benar-benar mampu menjembatani terwujudnya kesejahteraan masyarakat dalam negaranya. Contoh kasus adalah apa yang terjadi di Eropa (Austria, Swedia dan Swiss) dan Negara Berkembang (Kostarika, Singapura dan Taiwan) yang memiliki kehidupan dengan level tertinggi, tidak hanya karena pembangunan ekonominya tetapi juga pada usahanya yang sistematis dalam mengangkat pembangunan sosial. Yang dilakukan tentu saja melalui investasi besar pada sumber daya manusia, sosial kapital, penyelenggaraan pelayanan pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial dan perlindungan sosial lainnya.
Pembangunan yang terdistorsi telah melahirkan suatu kesadaran bersama (yang secara global diprakarsai oleh PBB), yang kemudian diimplementasikan melalui aksi bersama, baik pemerintah, masyarakat maupun individu --- bahwa kebutuhan sosial lokal, regional maupun global hanya dapat dipenuhi melalui kebijakan pragmatis dan program yang secara langsung menyentuh isu kesejahteraan.
Pembangunan sosial adalah sebuah pendekatan untuk mengangkat kesejahteraan masyarakat yang tidak hanya sesuai dengan upaya peningkatan kualitas hidup warga negara tetapi juga dalam rangka merespon masalah “pembangunan yang terdistorsi”. Dengan penekanan pada persfektif makro dan komprehensif (dengan titik sentral pada komunitas dan masyarakat) berupaya melakukan intervensi yang terencana dalam mengangkat pendekatan yang berorientasi perubahan yang bersifat dinamis, inklusif, dan universal, yang intinya mengharmonisasikan intervensi sosial dengan usaha pembangunan ekonomi, menggabungkan tujuan ekonomi dan sosial dalam pembangunan, atau mengkaitkan pembangunan ekonomi dengan tujuan-tujuan sosial.

B. Definisi Pembangunan Sosial :
Secara sistematis bahwa dalam Bab 1 Buku Pembangunan Sosial Persfektif Pembangunan Dalam Kesejahteraan Sosial karya James Midgley ini berisi antara lain : pengenalan definisi, deskripsi dan karakter kunci dari pembangunan sosial. Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam mengangkat kesejahteraan sosial antara lain melalui philantropi, pekerjaan sosial dan kebijakan sosial. Selain itu juga dijelaskan tentang berbagai macam cara yang berbeda oleh disiplin ilmu lain dalam penggunaan istilah pembangunan sosial, juga melakukan identifikasi elemen-elemen kunci persfektif pembangunan sosial (dengan menggunakan pemikiran-pemikiran ekonomi politis kontemporer), singkatnya bab ini menawarkan pembangunan sosial sebagai pendekatan yang paling inklusif dan luas untuk mengangkat kesejahteraan rakyat.
a. Pembangunan sosial didefinisikan sebagai sebuah proses perubahan sosial yang terencana yang didesain untuk mengangkat kesejahteraan penduduk menyeluruh dengan menggabungkannya dengan proses pembangunan ekonomi yang dinamis.
b. Kesejahteraan sosial adalah : (1) sejauhmana masalah-masalah sosial diatur, (2) sejauhmana kebutuhan-kebutuhan dipenuhi, dan (3) sejauhmana kesempatan untuk meningkatkan taraf hidup dapat disediakan. Ketiganya berlaku pada bagi individu, keluarga, kelompok, komunitas dan seluruh masyarakat serta bekerja pada setiap jenjang level sosial.
c. Tiga pendekatan yang terinstitusionalisasi dalam mengangkat kesejahteraan sosial, yaitu : (1) pilantropi sosial, yang bergantung pada donasi pribadi, relawan dan organisasi non-profit untuk memenuhi kebutuhan, mencari solusi terhadap masalah yang ada dan menciptakan kesempatan baru, (2) pekerjaan sosial, yang bergantung pada tenaga-tenaga profesional dalam mendukung tujuan-tujuan kesejahteraan dengan bekerja dengan individu, kelompok dan komunitas, dan (3) administrasi sosial, intervensi pemerintah dalam memberikan layanan-layanan sosial resmi.
d. Karakteristik pembangunan sosial antara lain : (1) proses pembangunan manusia sangat terkait dengan pembangunan ekonomi, (2) pembangunan sosial berfokus pada berbagai macam disiplin ilmu/interdiscipliary, (3) pembangunan sosial menekankan pada proses, (4) pembangunan sosial merupakan proses perubahan yang progresif, (5) proses pembangunan sosial bersifat ke arah intervensi, (6) tujuan-tujuan pembangunan sosial didukung dengan berbagai macam strategi, (7) pembangunan sosial terkait dengan rakyat, dan (8) tujuan pembangunan sosial menyangkut kesejahteraan sosial.
e. Beberapa pengertian lain dari pembangunan sosial :
(1) Pembangunan sosial dan pembangunan psikologi bahwa berdasarkan pemikiran psikologis, pembangunan sosial adalah sebuah proses positif pertumbuhan individu yang akhirnya terkontribusikan pada kemaslahatan masyarakat. Artinya, masyarakat dapat menjadi lebih baik jika para individu mengalami pembangunan secara personal dan belajar bagaimana berhubungan dengan orang lain secara lebih baik.
(2) Sosiologi, pembangunan sosial dan perubahan sosial, definisi kongkritnya lebih ditekankan pada proses perubahan terencana dan terarah, intervensi dan kemajuan dalam teori-teori sosiologi dalam pembangunan sosial,
(3) Pekerjaan sosial dan pembangunan sosial, bahwa pekerjaan sosial adalah proses yang berusaha mencapai sebuah pembangunan ekonomi dan sosial yang integral dan seimbang dan juga sebagai sesuatu yang memberikan ekspresi pada harga diri manusia, persamaan dan keadilan sosial (Salima Omer, 1979). Jadi pembangunan sosial bersifat holistik, memiliki ruang lingkup internasional, multidisiplin ilmu, intersektoral dan interregional, tujuannya menciptakan masyarakat humanis yang mengabdikan diri untuk mencapai perdamaian di dunia dan kemajuan untuk seluruh manusia, dalam pandangan lain masih menurut pekerjaan sosial bahwa pembangunan sosial merupakan praktek makro atau praktek tidak langsung (organisasi masyarakat, pembangunan kebijakan sosial, perencanaan sosial dan administrasi pekerjaan sosial), selain itu bahwa pembangunan sosial dapat diterapkan bergantung pada pendekatan yang telah dikembangkan pada lapangan interdisiplin dari studi-studi pembangunan,
(4) Pembangunan sosial dan studi –studi pembangunan, hal ini berkaitan erat dengan penyediaan layanan-layanan sosial di negara-negara berkembang (pembangunan dunia ketiga). Dewasa ini, pembangunan sosial merujuk pada layanan pekerjaan sosial dan kesejahteraan sosial (kesehatan, pendidikan, perumahan, pemukiman dan lapangan lain yang terkait). Pada pendekatan ini, pembangunan sosial merujuk pada semua sektor besar layanan sosial dan dipergunakan pada perencanaan sosial yang berkonotasi pada perencanaan dan koordinasi layanan-layanan sosial. Akhirnya, pembangunan sosial adalah istilah untuk memayungi layanan-layanan sosial besar, reformasi lahan, pembangunan pedesaan, partisipasi rakyat, perencanaan penduduk dan strategi nasional dalam mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan standar hidup masyarakat., (5) Ekonomi politik dan pembangunan sosial, adalah pendekatan yang menggabungkan pemikiran ilmu ekonomi, politik dan teori-teori sosial untuk mengatasi masalah-masalah kemasyarakatan, baik nasional maupun internasional. Ia juga menyangkut peranan negara dan institusi besar dalam merespon kebutuhan sosial (masyarakat).

Minggu, 07 September 2008

KEBIJAKAN SOSIAL DAN RELEVANSINYA TERHADAP UPAYA PENANGGULANGAN KEMISKINAN

oleh : Rakhmani

Pendahuluan
Beberapa definisi kebijakan sosial, yaitu :
a. Ketetapan pemerintah yang dibuat untuk merespon isu-isu yang bersifat publik, yakni mengatasi masalah sosial atau memenuhi kebutuhan masyarakat banyak, (Suharto, 2007).
b. Kebijakan sosial merujuk pada apa yang dilakukan pemerintah sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas hidup manusia melalui pemberian beragam tunjangan pendapatan, pelayanan kemasyarakatan dan program-program tunjangan sosial lainnya, (Bent, Watts, Dalton dan Smith dalam Suharto, 2007)
c. Kebijakan sosial adalah ketetapan yang didesain secara kolektif untuk mencegah terjadinya masalah sosial (fungsi preventif), mengatasi masalah sosial (fungsi kuratif) dan mempromosikan kesejahteraan (fungsi pengembangan) sebagai wujud kewajiban negara (state obligation) dalam memenuhi hak-hak sosial warganya, (Suharto, 2007).
d. Bentuk kebijakan sosial antara lain dikategorikan dalam 3 (tiga) macam, yaitu : Peraturan dan Perundang-undangan, Program Pelayanan Sosial, dan Sistem Perpajakan atau kesejahteran fiskal, (Suharto, 2007).
Jadi kebijakan sosial adalah :
· Berbagai ketetapan yang dibuat dan atau dilakukan pemerintah
· Fungsi kebijakan sosial adalah untuk mencegah terjadinya masalah sosial (fungsi preventif), mengatasi masalah sosial (fungsi kuratif) dan mempromosikan kesejahteraan (fungsi pengembangan);
· Tujuannya untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan warga negara/warga masyarakat;
· Bentuk kebijakan sosial antara lain dikategorikan dalam 3 (tiga) macam, yaitu : Peraturan dan Perundang-undangan, Program Pelayanan Sosial, dan Sistem Perpajakan (kesejahteran fiskal);
· Wujud kewajiban negara (state obligation) untuk memenuhi hak-hak sosial warganya;

Uraian
Untuk sistematiknya pemahaman penjelasan relevansi kebijakan sosial terhadap upaya penanggulangan kemiskinan di Indonesia, dapat dilihat sebagaimana uraian berikut :
a. UUD 1945 merupakan landasan konstitusional kehidupan berbangsa dan bernegara dalam melakukan pembangunan nasional mengisi kemerdekaan;
b. Pemerintah (Presiden, Wakil Presiden dan kabinet serta jajaran dibawahnya) menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJJ) sesuai visi dan misinya (pada saat mencalonkan diri sebagai presiden/wakil presiden) yang kemudian dituangkan dalam Rencana Strategis (Renstra) pembangunan, dengan memanfaatkan seoptimal mungkin Sumber Daya Alam (SDA) yang ada (fisik/nonfisik), dengan didukung kualitas dan kompetensi aparatur (SDM) dan struktur kelembagaan yang dipunyai, baik di tingkat pusat hingga daerah (provinsi maupun kabupaten/kota);
c. Dewan Perwakilan Rakyat dengan hak-hak yang dimilikinya : (legislasi, penganggaran dan pengawasan) bersama-sama pemerintah mengeluarkan regulasi (kebijakan sosial) dalam hubungannya dengan penanggulangan kemiskinan. Kebijakan sosial tersebut ditetapkan melalui mekanisme politik memberikan payung hukum (legislasi) yang kuat terhadap kebijakan yang dikeluarkan, memberikan kepastian alokasi sumber pendanaan (pengganggaran) dan kontrol (pengawasan) pelaksanaan kebijakan dimaksud di tengah-tengah masyarakat;
e. Regulasi kebijakan sosial dimaksud bisa berupa pertama, sistem perpajakan, baik sebagai sumber pendanaan kebijakan sosial, maupun sebagai instrumen kebijakan yang bertujuan langsung mencapai distribusi pendapatan yang adil. Kedua, Peraturan perundang-undangan sebagai payung hukum yang mendasari kebijakan sosial dimaksud sehingga sah, legal dan mengikat secara hukum seluruh komponen yang terlibat. Ketiga, Program Pelayanan Sosial, Kebijakan sosial diwujudkan dan diaplikasikan dalam bentuk pelayanan sosial yang berupa bantuan barang, tunjangan uang, perluasan kesempatan, perlindungan sosial, bimbingan sosial, baik konseling, advokasi maupun pendampingan (Suharto, 2007);
f. Dalam hubungannya dengan penanggulangan kemiskinan maka ketiga instrumen dimaksud difungsikan secara terintegrasi, bersinergi dan saling mendukung sebagai satu kesatuan yang holistik. Kesatupaduan ketiga instrumen dimaksud juga dimaksudkan untuk mendukung efesiensi dan efektivitas program-program penanggulangan kemiskinan;
g. Beberapa program penanggulangan kemiskinan yang pernah dan sedang dilaksanakan di Indonesia antara lain : Program Inpres Desa Tertinggal (IDT), Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Program Kredit Pendayagunaan Teknologi Tepat Guna dalam rangka Pengentasan Kemiskinan (KP-TTG-Taskin), Program Ekonomi Simpan Pinjam (UED-SP), Program Kredit Usaha Tani (KUT), Program Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS), Program Operasi Pasar Khusus (OPK-Beras), Program Pemberdayaan Daerah dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDM-DKE), Program Beasiswa dan Dana Biaya Operasional Pendidikan Dasar dan Menengah (JPS-Bidang Pendidikan, Program JPS-Bidang Kesehatan (Askeskin, Jamkesmas, dll), Program Padat Karya Perkotaan (PKP), Program Prakarsa Khusus Pengangguran Perempuan (PKPP), Program Pemberdayaan Masyarakat melalui Pembangunan Prasarana Subsidi Bahan Bakar Minyak (PPM-Prasarana Subsidi BBM), Program Dana Bergulir Subsidi Bahan Bakar Minyak untuk Usaha Kecil dan Menengah, Program Dana Tunai Subsidi Bahan Bakar Minyak (Prihatin, 2004). Program yang lain adalah : Program Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) dan USEP KM untuk meningkatkan usaha produktif bagi keluarga miskin, dan sebagainya (Sriharini, 2007);
h. Berbagai program penanggulangan kemiskinan sebagaimana tersebut diatas bertujuan akhir agar masyarakat miskin menjadi berdaya (empowered) dan menjadi mandiri serta sejahtera (well-being). Sejahtera dalam konsep kesejahteraan sendiri diartikan bukan hanya secara ekonomi (terjadinya peningkatan pendapatan) tetapi juga secara sosial, yang diindikasikan dengan terpenuhinya kebutuhan dasar (pangan, sandang, perumahan), terjadinya peningkatan kualitas hidup, pendidikan, kesehatan, akses dan partisipasi politik, aktualisasi diri pada bidang sosial budaya, dan sebagainya;
i. Berbagai program penanggulangan kemiskinan tersebut juga merupakan upaya pemberdayaan masyarakat dalam arti luas dengan tujuan untuk meningkatkan daya (power) dari orang-orang yang kurang beruntung (Ife, 1995), termasuk didalamnya orang miskin atau dalam persfektif yang lebih rinci sebagaimana dikemukakan Suharto (2005), pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentang dan lemah (termasuk orang miskin) sehingga mereka memiliki kekuatan dan kemampuan dalam (a) memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki kebebasan (freedom) dalam arti bukan saja bebas mengemukakan pendapat, melainkan juga bebas dari kelaparan, bebas dari kebodohan, bebas dari kesakitan (b) menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang dan jasa yang mereka perlukan (c) berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka;
j. Konsep kesejahteraan sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata sejahtera memiliki ciri aman, sentosa dan makmur ; selamat (terlepas dari segala macam gangguan, termasuk didalamnya gangguan terhadap kemiskinan, kemelaratan, kelaparan, dan sebagainya). Dengan demikian, kesejahteraan sosial merupakan keadaan masyarakat yang sejahtera Pengertian seperti ini menempatkan kesejahteraan sosial sebagai tujuan akhir dari suatu kegiatan pembangunan. (Lessy, 2007).
k. Berbagai kebijakan program dalam menanggulangi kemiskinan dimaksud kemudian dianalisis secara deskriptif dan faktual tentang sebab-sebab dan akibat-akibat dari kebijakan dimaksud (Dunn, 1991) atau dinilai (assesmen) secara terencana, sistematis dan akurat mengenai konsekuensi-konsekuensi kebijakan sosial, baik sebelum maupun sesudah kebijakan itu diimplementasikan (Suharto, 2005). Kajian analisis tersebut bisa juga berupa evaluasi komprehensif oleh pemerintah (baik di level Kabupaten/Kota, Provinsi maupun Pemerintah Pusat), terhadap berbagai keberhasilan menjadi catatan positif agar berbagai kebijakan tersebut dipertahankan dan ditingkatkan sementara kegagalan/hambatan menjadi masukan positif bagi upaya perbaikan dan penyempurnaan berbagai program dimaksud untuk masa yang akan datang (feed back);
l. Untuk perbaikan, penyempurnaan dan peningkatan berbagai program penanggulangan kemiskinan tersebut, pemerintah juga melakukan penjaringan aspirasi kepada masyarakat miskin secara terstruktur formal berjenjang melalui musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang), dimulai level desa, Kabupaten/Kota, Provinsi hingga Pemerintah Pusat. Model ini kemudian melahirkan pembangunan yang berpendekatan partisipatif dan aspiratif (bottom-up), sehingga suara-suara masyarakat miskin terakomodasi dalam kebijakan-kebijakan sosial selanjutnya;
m. Hal yang sama dilakukan kalangan legislatif (DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi, DPR dan DPD Pusat), melalui penjaringan aspirasi kepada konstituennya (khususnya kalangan masyarakat miskin) untuk penyusunan regulasi kebijakan sosial baru (perbaikan atau penyempurnaan) di masa yang akan datang;
n. Proses sebagaimana tersebut diatas melahirkan suatu siklus yang terus menerus berlangsung dalam kerangka penanggulangan kemiskinan agar mampu mewujudkan keberdayaan, kemandirian dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Sebagai sebuah siklus maka kebijakan sosial dengan berbagai program-programnya akan senantiasa lahir, diperbaiki, dikembangkan, ditingkatkan dan disempurnakan hingga benar-benar melahirkan masyarakat (miskin) yang berdaya, mandiri dan sejahtera.

Kesimpulan
Dengan melihat kerangka pikir dan argumentasi-argumentasi yang dibangun maka dapat disimpulkan bahwa terdapat relevansi antara kebijakan sosial dengan penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Tanpa kebijakan sosial yang tepat, efektif dan efesien maka penanggulangan kemiskinan tidak akan berhasil mencapai tujuan-tujuannya, dan itu artinya pula bahwa keberhasilan penanggulangan kemiskinan pada akhirnya akan melahirkan terwujudnya keberdayaan, kemandirian dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Dunn, William N. 1981.
Public Policy Analysis : An Introduction. Prentice Hall, New Jersey.
Ife, Jim. 1995.
Community Development : Creating Community Vision, Analysis and Practice. Longman Australia Pty.Limited, Melbourne.
Lessy, Zulkipli. 2007.
Keadilan Sosial dan Kesejahteraan Sosial dalam Islam, Peran Pekerja Sosial dalam Mewujudkan Keadilan dan Kesejahteraan Sosial, dalam Model-Model Kesejahteraan Sosial Islam (Perspektif Normatif Filosofis dan Praktis). Penerbit Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Prihatin, Juni. S. 2004.
Strategi Pengentasan Kemiskinan, dalam Agnes Sunartiningsi (ed), Pemberdayaan Masyarakat Desa melalui Institusi Lokal. Aditya Media, Yogyakarta.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Naional. 2002.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Penerbit Balai Pustaka, Jakarta.
Sriharini. 2007.
Strategi Pemberdayaan Masyarakat Miskin dalam Model-Model Kesejahteraan Sosial Islam (Persfektif Normatif Filosofis dan Praktis). Penerbit Fakultas Dakwah Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarya.
Suharto, Edi. 2005.
Membangun Masyarakat Memberdayakan Umat. Refika Aditama, Bandung.
__________.2005.
Analisis Kebijakan Publik, Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial. ed.revisi. Penerbit Alfabeta, Bandung.
__________. 2007.
Kebijakan Sosial sebagai Kebijakan Publik. Penerbit Alfabeta, Bandung.