Rabu, 15 Februari 2012

PERAN LPSE DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI (by Rakhmani, S.Sos., M.Si)

Abstract

Pengadaan melalui model konvensional dimana antara panitia dan penyedia bertemu secara langsung”face to face”, berinteraksi secara intens, bekerjasama untuk maksud tertentu ternyata berdampak besar makin menjamurnya korupsi dalam pengadaan barang/jasa. Untuk mengatasi hal tersebut, Pemerintah kemudian meregulasikan Perpres 54/2010 tentang pengadaan barang/jasa pemerintah, dimana untuk mewujudkan pengadaan yang kredibel, dilaksanakannya pengadaan secara elektronik melalui Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE). Sebagai model baru, LPSE membawa nilai baru, yang didalamnya selalu ada yang pro dan kontra, baik karena lebih mementingkan kualitas dan kepentingan masyarakat ataupun cemas dan merasa terganggu kemapanannya. Sebagai sebuah nilai baru, jaminan pengadaan melalui LPSE bebas korupsi juga perlu dibuktikan, karena menyangkut sistem, yang menentukan tetatplah ”the man behind the gun”. Alternatif pendekatan untuk mengaplikasikan LPSE sebagai sebuah nilai baru perlu dilakukan : a) perubahan mindset/pemikiran para pelaku pengadaan barang/jasa, b) penguatan kapasitas perusahaan dan SDM menuju kemandirian, c) Penguatan kualitas dan pelayanan menuju keunggulan, d) reward and punishment, sejahtera berkeadilan e). kerjasama melalui semangat kebersamaan dan f) menjunjung tinggi moralitas berlandaskan nilai religius. Kata kunci : korupsi, pengadaan secara elektronik, LPSE

PENDAHULUAN
Pemerintah melalui regulasinya perpres 54/2010 tentang pengadaan barang/jasa pemerintah berupaya mewujudkan pengadaan barang/jasa yang efektif, efesien, transparan, terbuka, bersaing, adil/tidak diskriminatif dan akuntabel. Untuk mewujudkan hal tersebut, kemudian pemerintah mengganti model pengadaan konvensional, melalui tatap muka “face to face” yang rawan korupsi, dengan model baru melalui media elektronik, yang dikenal sebagai layanan pengadaan secara elektronik (LPSE) Fakta menunjukkan banyak keuntungan dengan diterapkannya LPSE tersebut, diantaranya : waktu menjadi lebih singkat, bahkan bisa mencapai 50% dibanding konvensional, belum lagi penawaran harga menjadi sangat kompetitif, transparansi melahirkan pengawasan semesta sehingga tindakan preventif terhadap penyimpangan dapat dilakukan, terbuka siapa saja dapat ambil peran sesuai kapasistasnya masing-masing, bersaing dan tidak diskriminatif melahirkan jiwa dan semangat berkompetisi “fair play”, mendidik wira usaha, kemandirian, kerjasama, dan senantiasa memperbaharui diri dengan standar kualitas dan layanan terbaik, kesemuanya itu melahirkan pengadaan menjadi akuntabel, baik dari sisi hukum, administrasi maupun keuangan. Melihat fakta demikian, maka tidak salah, kemudian banyak harapan besar yang ditumpukan kepada model baru ini, setidaknya sebagai model yang menggunakan media elektronik, internet dan perangkatnya, diharapkan berbagai korupsi dalam pengadaan barang/jasa, menang tender karena pertemanan, kedekatan, sogok menyogok, pungli, ikatan emosional, premanisme sebagai akibat adanya hubungan “face to face” yang terencana, intens dan saling menguntungkan atau ketakutan dapat diminimalisir bahkan dihilangkan.

LPSE DAN PEMBERANTASAN KORUPSI
Sebagai sebuah model baru, pengadaan secara elektronik jelas melahirkan dua kubu yang saling berseberangan, ada pro dan kontra, begitu juga dengan penerapan pengadaan secara elektronik melalui LPSE. Pihak yang pro, jelas orang baru, belum terlibat atau merasa dirugikan dengan berlakunya model terdahulu, baik secara ekonomi maupun sosial, memiliki sifat terbuka, visi ke depan, berorientasi kualitas dan perbaikan secara terus menerus, singkatnya berjiwa perubahan, sedangkan pihak yang kontra, jelas karena sudah merasa nyaman dengan kondisi saat ini, mementingkan stabilitas, merasa diuntungkan dengan model terdahulu, baik secara ekonomi maupun sosial, singkatnya penganut faham kemapanan atau status quo. Kalau ditelaah lebih lanjut kedua kubu tersebut ternyata secara strata dan usia memang juga berbeda, di tingkat pemerintahan, yang kurang atau belum mau menerima pengadaan secara elektronik justru para pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran, pejabat pembuat komitmen, panitia pengadaan yang justru berada pada top struktur manajemen pemerintahan, sedangkan yang menerima justru para kaum muda/staf, baik karena idealis, merasa tidak nyaman dengan model yang ada, tertekan, atau justru dirugikan dengan penerapan model yang ada. Disisi penyedia/rekanan/pengusaha, justru yang menerima para penyedia baru, penyedia lama tetapi tidak termasuk kelompok penyedia yang kebagian proyek dan penyedia yang berada di top struktur ”high class” pengadaan, sedangkan yang menolak para penyedia kecil dan menengah dan sudah lama terlibat dalam pengadaan dan menikmati hasil pengadaan. Penerapan pengadaan secara elektronik dianggap mematikan rezeki pihak yang kontra, sedangkan pihak yang pro justru menganggap penting untuk memikirkan kualitas, masyarakatlah yang harus diuntungkan, bukan orang perorang atau segelintir orang. Bukankah masyarakatlah yang sejatinyanya berhak menikmati uang mereka yang sudah disetorkan kepada negara, yang dikenal sebagai pajak untuk pembangunan. Adalah wajar kalau kemudian publik menuntut kualitas pelayanan terbaik sebagai konsekuensi balasan atas pelaksanaan kewajiban membayar pajak tersebut. Dalam kasus seperti ini, LPSE berperan dalam mendobrak kemapanan atau status quo. Dengan penerapan SPSE diharapkan pengadaan dapat berlangsung secara efektif, efesien, transparan, terbuka, bersaing, adil/tidak diskriminatif dan akuntabel, sehingga tidak terjadi lagi, penyedia bekerjasama dengan oknum pemerintah melakukan cara-cara menyimpang untuk memenangkan suatu proyek pengadaan, korupsi yang justru merugikan pemerintah dan masyarakat. Dalam persfektif lain, posisi LPSE yang berada di tengah-tengah antara panitia pengadaan (pemerintah) dengan penyedia, menjadi filter untuk menghindari kontak langsung yang dapat menyebabkan proses pengadaan berjalan ke arah menyimpang. LPSE dapat menjadi ”wasit” yang baik dalam proses pengadaan barang/jasa. Peran fasilitasi layanan tersebut, semakin dipertegas melalui keanggotaan LPSE harus bebas dari panitia pengadaan untuk menghindari konflik kepentingan dan semua proses pengadaan tidak terlibat bertanggungjawab, kewajiban LPSE hanya sebatas fasilitasi dan menjaga sistem pengadaan berjalan sesuai ”rule of law” yang berlaku. Kondisi ini apabila diterapkan secara benar dapat menjamin pengadaan berlangsung efektif (tujuan pengadaan dapat tercapai sesuai apa yang ditetapkan, barang yang dihasilkan sesuai kebutuhan dan spesifikasi sesuai syarat-syarat kualitas yang ditetapkan), efesien, baik dari sisi waktu maupun pembiayaan, karena persaingan harga penawaran menjadi sangat kompetitif sesuai harga pasar yang berlaku, sehingga penyedia yang menawarkan rasionalitas harga yang semakin mendekati harga pasarlah yang dipastikan menang pengadaan, transparan melahirkan pengawasan semesta, dimana publik dapat terlibat secara aktif dalam monitoring dan mengawasi pengadaan, sehingga tindakan preventif dapat dilakukan apabila suatu pengadaan terindikasi menyimpang, bersaing, kompetisi secara sehat dengan standar kepatuhan pada ”rule of law” secara bersama-sama dengan menawarkan kualitas terbaik, adil/tidak diskriminatif, semua penyedia dapat terlibat berpartisipasi dalam proses pengadaan sepanjang memenuhi persyaratan, tidak ada pengkotakan penyedia tertentu, siapa saja memiliki kesempatan yang sama untuk memenangkan pengadaan, dan akuntabel. Pengadaan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik secara lebih baik dan legal, baik dari sisi proses administrasi, hukum maupun keuangan. Sementara secara psikologi dan sosial, pengadaan barang/jasa secara elektronik melalui LPSE dapat meminimalisir pengaruh buruk pengadaan secara konvensional, lebih-lebih di era reformasi yang mengedepankan hukum sebagai panglima. Perilaku dan tindakan menyimpang dalam pengadaan secara konvensional, secara psikologi kerap menyebabkan pelaku pengadaan susah tidur, was-was, kecemasan menahun, phobia melihat polisi dan jaksa, bahkan bisa berperilaku seperti orang gila dan bahkan bunuh diri. Sementara secara sosial, melahirkan sifat menutup diri terhadap lingkungan sosial, baik secara pribadi maupun keluarga, terisolasi secara sosial, dihukum secara sosial oleh masyarakat, yang dampak lanjutannya ternyata lebih parah dari hukum formil, terlibat narkoba sebagai alternatif jalan keluar bahkan hingga kehancuran rumah tangga, menjadi subyek dari pelaku-pelaku masalah sosial lainnya. Dengan penerapan pengadaan secara elektronik, para pelaku, baik aparatur maupun penyedia tidak ada terikat janji atau bekerjasama, berkontribusi untuk melakukan cara-cara irrasional untuk memenangkan pengadaan, dengan penekanan memilih diantara yang memberi keuntungan pribadi dan kelompoknya, karena hubungan pertemanan, ikatan emosional, penekanan dan sebagainya. Dengan pengadaan secara elektronik, pelaku pengadaan fokus pada pelaksanaan tugas sesuai kewenangannya masing-masing, pengadaan dipercayakan pada sistem yang berlaku. Dengan kondisi ini LPSE berperan menjaga kenyamanan dan keharmonisan kehidupan psikologi dan sosial pelaku-pelaku pengadaan. Kehidupan pribadi nyaman, tidak ada kecemasan, was-was, no-phobia pada polisi dan jaksa, tidur nyenyak, sementara kehidupan sosialnya, keharmonisan rumah tangga terjaga, hubungan dengan mayarakat sekitar terjalin secara baik, kewajiban-kewajiban religius dan sosial dapat dilaksanakan, hubungan dengan sesama terjalin erat dan harmonis. Singkatnya, kehidupan para pelaku-pelaku pengadaan menjadi lebih beradab, bermartabat dan manusiawi. Dengan semakin baiknya pengadaan diharapkan kualitas barang/jasa yang dihasilkan pun akan semakin baik. Siapa yang diuntungkan dengan proses pengadaan yang baik dan menghasilkan barang/jasa yang semakin berkualitas, tentu tidak saja para pelaku pengadaan, baik aparatur (Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran, Pejabat Pembuat Komitmen, Unit Layanan Pengadaan, Layanan Pengadaan Secara Elektronik, Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan) maupun Penyedia, dimana masing-masing pihak telah berkontribusi positif dalam pengadaan yang semakin baik dan berkualitas. Lebih dari itu, masyarakatlah yang sangat diuntungkan, karena kualitas barang./jasa yang dihasilkan sesuai kebutuhan dan standar kualitas yang ditetapkan. Dengan semakin berkualitasnya barang/jasa yang dihasilkan akan semakin memperpanjang umur barang/jasa dimaksud, menimbulkan kepuasan publik, meningkatkan kepercayaan masyarakat, dan secara tidak langsung membangun kesadaran publik, sehingga dapat terlibat aktif dalam proses pembangunan daerah, termasuk menjaga hasil-hasil pembangunan tersebut. Dengan semakin berkualitasnya pengadaan barang/jasa jelas menjadi pintu masuk bagi terciptanya clean and good governnance, yaitu : pemerintahan yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme, pemerintahan yang mengayomi, melindungi, mendorong, memfasilitasi, membangun dan melayani masyarakatnya.

PENGADAAN MELALUI LPSE BEBAS KORUPSI?
Jaminan pengadaan melalui LPSE bebas korupsi, tentu masih perlu dibuktikan. Setidaknya, sebagai sebuah sistem yang digerakkan oleh manusia, akan sangat tergantung bagaimana moralitas, sikap profesional, dan integritas ”the man behind the gun?”, yang menjalankan sistem tersebut, dan secara kasat mata, walaupun tidak sehebat melalui model konvensional dalam LPSE teridentifikasi beberapa pintu masuk korupsi dan kejahatan baru dalam pengadaan barang/jasa dalam format dan gaya baru, yaitu : secara internal, pintu-pintu dimaksud antara lain : 1. Kuatnya peran dan wewenang admin bisa bernilai positif atau negatif. Positif apabila admin memiliki moralitas, sikap profesional dan integritas yang tinggi, menjadi agen pendukung pemberantasan korupsi melalui LPSE, tetapi bernilai negatif apabila admin melacurkan diri, bekerjasama dengan penyedia, menjadi antek penyedia, dalam usaha memperlancar keikutsertaan dalam pengadaan secara elektronik melalui ”jalur belakang”, salah satu contohnya : mengatur sistem agar penawaran penyedia diakomudir walaupun sudah lewat waktunya. Kalau hal ini terjadi maka pemberantasan korupsi sebagai tujuan diberlakukannya pengadaan secara elektronik hanyalah omong kosong belaka. Walaupun secara kesisteman hal tersebut akan tercatat dan bisa dideteksi, tetap saja menjadi peluang bagi pihak yang memanfaatkannya. 2. Lambatnya proses agregasi, memunculkan kesempatan korupsi di wilayah registrasi dan verifikasi. Hal ini terjadi, karena penyedia memiliki kepentingan untuk mengikuti pengadaan secara elektronik sementara yang bersangkutan belum lengkap dalam registrasi dan verifikasi. Kongkalikong antara penyedia dan verifikator dapat terjadi pada tahap ini, walaupun belum lengkap tetapi oleh verifikator diluluskan agar penyedia dapat mengikuti pengadaan secara elektronik, dan selalu saja ada tawar menawar terhadap suatu kegiatan ”dibawah meja”. Secara ekternal, di tingkat penyedia, penerapan LPSE ternyata membawa phobia tersendiri, setidaknya pemikiran bahwa proyek yang biasanya mereka dapatkan karena KKN dikhawatirkan akan hilang oleh pihak lain, yang menyodorkan kualitas dan kompetensi sebagai penyedia. Ketakutan tersebut sangat beralasan, karena masih lemahnya faktor modal, SDM, dan manajemen perusahaan, hal ini justru sangat terasa bagi penyedia lokal yang justru kebanyakan menang lelang bukan karena pertimbangan kompetensi dan kualitas tetapi lebih pada kedekatan dan sogok menyogok, baik pada proses lelang, saat pelaksanaan hingga hasil akhir proyek, terdapat simbiosis mutualisme, kontraktor untung, oknum pemilik proyek/pemerintah untung. Kondisi ini tentu sangat merugikan rakyat, karena pikiran kotor untuk berbagi ”kue proyek”, kontraktor berKKN mesra dengan oknum pemerintah?pemilik proyek dengan manipulasi pelaksanaan proyek, menurunkan spesifikasi teknis, kebohongan bahkan hingga proyek fiktif. Kondisi ini, dalam tataran aplikasi di lapangan mulai menggejala ”premanisme di akar rumput”. Pihak pemenang/rekanan yang berasal dari luar daerah/lokasi pengadaan, akan diganggu oleh orang-orang penyedia yang kalah dalam pengadaan. Bentuk gangguan tersebut berupa premanisme di tingkat pelaksanaan pengadaan barang/jasa, khususnya untuk pekerjaan-pekerjaan konstruksi. Gangguan-gangguan tersebut antara lain : sabotase, perusakan, menghalang-halangi pekerjaan, bahkan tindakan kriminalitas pada pelaku-pelaku proyek di lapangan. Jadi kalau dulu premanisme pengadaan berlangsung di pintu masuk pengadaan (waktu proses lelang berlangsung) sekarang bergeser di tingkat pelaksanaan pekerjaan. Konsekuensinya para pelaku penyedia dituntut memproteksi pekerjaannya, tentunya juga dengan mengamankan proyeknya dengan menggunakan preman-preman lokal minimal sampai hasil pekerjaan tersebut diserahkan kepada pemerintah daerah, selaku pemilik proyek. Hal ini tentu saja berdampak timbulnya cost baru untuk membiaya preman-preman tersebut sehingga biaya pengadaan kembali tidak efesien. Hal lain, hingga saat ini juga secara operasional, pengadaan secara elektronik juga masih dilaksanakan dalam skala terbatas, hanya berkisar pada e-tendering, dan belum mengakomudir pengadaan langsung. Padahal sudah menjadi rahasia umum, yang namanya pengadaan langsung, yang ternyata jumlahnya cukup besar, menjadi ”kue proyek” yang sangat lezat untuk diperebutkan oleh aparatur dan penyedia. Kalau proyek-proyek dengan nilai milyaran membutuhkan kualifikasi dan keahlian tertentu, pengadaan langsung justru banyak dimainkan para ”makelar proyek” yang ternyata bahkan aparatur turut ”bermain” menjadi pelaksana proyek, yang jelas-jelas bertentangan dengan perpres 54/2010, namun sayangnya, hingga sekarang pun masih dilaksanakan oknum aparatur, walaupun dengan jalan ”kucing-kucingan”, tetapi di internal kantor/instansi yang bersangkutan jelaslah ”tahu sama tahu” saja, yang penting selalu ada ”uang tutup mulut” yang dibagi secara bersama atau dinikmati bersama, baik dengan cara makan bersama, pembagian baju, sarung, atau bingkisan bernama ”paket lebaran”. Kalau model pengadaan langsung belum menemukan regulasi yang jelas, sama saja kita memelihara ”tikus berdasi” yang akan menggerogoti uang publik bernama ”korupsi”.

SUATU ALTERNATIF PEN DEKATAN
Sebagai sebuah model baru maka pengadaan secara elektronik melalui LPSE membutuhkan kerjakeras dan kerja bersama, baik aparatur pemerintah maupun penyedia, termasuk masyarakat luas. Dalam tataran kebijakan dan pembinaan maka LKPP wajib terus melakukan perbaikan regulasi yang mengikat, komprehensif dan menyeluruh secara terus menerus yang mengatur mekanisme pengadaan secara elektronik yang diakui secara bersama sebagai ”rule of the game”. Untuk menerapkan pengadaan secara elektronik yang bebas korupsi, memberi penekanan bahwa LPSElah yang menjadi garda terdepan agar pengadaan bebas korupsi, karenanya secara terstruktur perlu ada kerjasama yang lebih komprehensif antara LKPP dan LPSE se-Indonesia, secara horizontal juga perlu ada kerjasama dan koordinasi antar LPSE, bagaimanapun mengenalkan suatu model baru tidaklah semudah membalik telapak tangan. Suatu alternatif pendekatan yang dapat dilakukan agar pengadan secara elektronik menjadi model baru yang menjamin pengadaan bebas korupsi antara lain dilakukan dengan cara : pertama, proses adopsi model baru tersebut membutuhkan kesadaran bersama, pemerintah dan penyedia, dan kesadaran harus dimulai dengan perubahan mindset, bahwa model baru tersebut diyakini mampu membawa perubahan ke arah lebih baik, dan tentu saja mampu membuat pengadaan menjadi lebih berkualitas dan bebas korupsi. Karenanya, semua pihak pelaku pengadaan harus memiliki cara pandang yang sama, membuka diri pada perubahan, terus menerus memperbaharui diri, melakukan perbaikan dan diaplikasikan dalam perbuatan dan tindakan. Ketika melakukan pengadaan, yang menjadi sandaran utama adalah kualitas dan kepentingan publik diatas segalanya. Mudah memang dikatakan, tetapi sangat sulit diaplikasikan, apabila anda terlibat berkepentingan dengan pengadaan tersebut, khususnya kepentingan ekonomi, tetapi ketika kita membebaskan diri dari berbagai kepentingan, yang sifatnya orang perorang atau kelompok, pasti apa yang menjadi tujuan pengadaan, yaitu orientasi kualitas dan kepentingan publik, niscaya semuanya menjadi mudah dan dilapangkan. Kedua, untuk menjadi pemenang dalam pengadaan secara elektronik yang sandaran utamanya pada kualitas maka penguatan kapasitas perusahaan dan SDM merupakan modal utamanya. Penguatan kapasitas perusahaan dan SDM merupakan modal kemandirian, yang mampu menjangkau berbagai peluang pengadaan semakin terbuka lebar. Ketiga, pengadaan secara elektronik harus menonjolkan aspek kualitas dan pelayanan, sehingga akan melahirkan keunggulan, baik ecara kompetitif maupun komparatif. Keunggulan menjadi aset bagi penyedia untuk dijual dalam memenangkan pengadaan secara elektronik. Keempat, reward and punishment bagi aparatur pemerintah pelaku pengadaan, penghargaan dapat bernilai ekonomi maupun sosial secara layak agar terwujud hidup yang sejahtera berkeadilan, sejahtera secara legal melalui insentif hasil kerja keras dalam pengadaan, bukan dari pungli, sogok menyogok, amplop bawah meja, ATM, dan sebagainya, sementara hukuman harus diterapkan apabila pelaku pengadaan bermain-main dengan hukum, dan terbukti menyalahgunakan amanah yang diberikan, melakukan korupsi, baik sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama. Kelima, semua itu dilakukan dengan semakin intensifnya kerjasama melalui semangat kebersamaan para pihak yang terlibat dalam pengadaan secara elektronik, baik di tingkat institusi perumus kebijakan dan pembinaan (LKPP) maupun di tingkat pelaksana (PA/KPA, PPK, ULP, LPSE dan penyedia). Keenam, diatas semua itu adalah menjunjung tinggi moralutas berlandaskan nilai religius. Sebagai ummat beragama, semua mengakui adanya Tuhan dan hari kemudian, neraka dan surga. Satu keyakinan bahwa apa yang dilakukan saat ini akan sangat menentukan tempat kelak dikemudian hari, surga atau neraka, dan korupsi dalam pengadaan hasilnya tanpa pertobatan adalah neraka, itulah konsekuensinya. Pendekatan sebagaimana tersebut di atas menjadi alternatif untuk menjamin pengadaan secara elektronik melalui LPSE menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi di negara bernama ”Indonesia”.

KESIMPULAN
Mewujudkan pengadaan barang/jasa pemerintah secara efektif, efesien, transparan, terbuka, bersaing, adil/tidak diskriminatif dan akuntabel tidak akan berhasil tanpa keterlibatan semua pihak, baik aparatur (PA/KPA, PPK, ULP, LPSE) maupun penyedia. Selain itu, dukungan terhadap pengadaan dengan menggunakan sistem yang lebih kredibel menjadi suatu tuntutan yang harus dilaksanakan, dan LPSE menjadi satu pilihan garda terdepan untuk mewujudkan pengadaan yang kredibel, pengadaan yang bebas korupsi, sebagai langkah strategis mewujudkan clean and good governance di Lingkup Pemerintah Pusat, Provinsi maupun Kabupaten/Kota se-Indonesia, sehingga pada akhirnya dapat mewujudkan Indonesia yang bersih, Indonesia yang berkualitas, Indonesia yang sejahtera. Semoga.