Rabu, 15 Februari 2012

PERAN LPSE DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI (by Rakhmani, S.Sos., M.Si)

Abstract

Pengadaan melalui model konvensional dimana antara panitia dan penyedia bertemu secara langsung”face to face”, berinteraksi secara intens, bekerjasama untuk maksud tertentu ternyata berdampak besar makin menjamurnya korupsi dalam pengadaan barang/jasa. Untuk mengatasi hal tersebut, Pemerintah kemudian meregulasikan Perpres 54/2010 tentang pengadaan barang/jasa pemerintah, dimana untuk mewujudkan pengadaan yang kredibel, dilaksanakannya pengadaan secara elektronik melalui Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE). Sebagai model baru, LPSE membawa nilai baru, yang didalamnya selalu ada yang pro dan kontra, baik karena lebih mementingkan kualitas dan kepentingan masyarakat ataupun cemas dan merasa terganggu kemapanannya. Sebagai sebuah nilai baru, jaminan pengadaan melalui LPSE bebas korupsi juga perlu dibuktikan, karena menyangkut sistem, yang menentukan tetatplah ”the man behind the gun”. Alternatif pendekatan untuk mengaplikasikan LPSE sebagai sebuah nilai baru perlu dilakukan : a) perubahan mindset/pemikiran para pelaku pengadaan barang/jasa, b) penguatan kapasitas perusahaan dan SDM menuju kemandirian, c) Penguatan kualitas dan pelayanan menuju keunggulan, d) reward and punishment, sejahtera berkeadilan e). kerjasama melalui semangat kebersamaan dan f) menjunjung tinggi moralitas berlandaskan nilai religius. Kata kunci : korupsi, pengadaan secara elektronik, LPSE

PENDAHULUAN
Pemerintah melalui regulasinya perpres 54/2010 tentang pengadaan barang/jasa pemerintah berupaya mewujudkan pengadaan barang/jasa yang efektif, efesien, transparan, terbuka, bersaing, adil/tidak diskriminatif dan akuntabel. Untuk mewujudkan hal tersebut, kemudian pemerintah mengganti model pengadaan konvensional, melalui tatap muka “face to face” yang rawan korupsi, dengan model baru melalui media elektronik, yang dikenal sebagai layanan pengadaan secara elektronik (LPSE) Fakta menunjukkan banyak keuntungan dengan diterapkannya LPSE tersebut, diantaranya : waktu menjadi lebih singkat, bahkan bisa mencapai 50% dibanding konvensional, belum lagi penawaran harga menjadi sangat kompetitif, transparansi melahirkan pengawasan semesta sehingga tindakan preventif terhadap penyimpangan dapat dilakukan, terbuka siapa saja dapat ambil peran sesuai kapasistasnya masing-masing, bersaing dan tidak diskriminatif melahirkan jiwa dan semangat berkompetisi “fair play”, mendidik wira usaha, kemandirian, kerjasama, dan senantiasa memperbaharui diri dengan standar kualitas dan layanan terbaik, kesemuanya itu melahirkan pengadaan menjadi akuntabel, baik dari sisi hukum, administrasi maupun keuangan. Melihat fakta demikian, maka tidak salah, kemudian banyak harapan besar yang ditumpukan kepada model baru ini, setidaknya sebagai model yang menggunakan media elektronik, internet dan perangkatnya, diharapkan berbagai korupsi dalam pengadaan barang/jasa, menang tender karena pertemanan, kedekatan, sogok menyogok, pungli, ikatan emosional, premanisme sebagai akibat adanya hubungan “face to face” yang terencana, intens dan saling menguntungkan atau ketakutan dapat diminimalisir bahkan dihilangkan.

LPSE DAN PEMBERANTASAN KORUPSI
Sebagai sebuah model baru, pengadaan secara elektronik jelas melahirkan dua kubu yang saling berseberangan, ada pro dan kontra, begitu juga dengan penerapan pengadaan secara elektronik melalui LPSE. Pihak yang pro, jelas orang baru, belum terlibat atau merasa dirugikan dengan berlakunya model terdahulu, baik secara ekonomi maupun sosial, memiliki sifat terbuka, visi ke depan, berorientasi kualitas dan perbaikan secara terus menerus, singkatnya berjiwa perubahan, sedangkan pihak yang kontra, jelas karena sudah merasa nyaman dengan kondisi saat ini, mementingkan stabilitas, merasa diuntungkan dengan model terdahulu, baik secara ekonomi maupun sosial, singkatnya penganut faham kemapanan atau status quo. Kalau ditelaah lebih lanjut kedua kubu tersebut ternyata secara strata dan usia memang juga berbeda, di tingkat pemerintahan, yang kurang atau belum mau menerima pengadaan secara elektronik justru para pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran, pejabat pembuat komitmen, panitia pengadaan yang justru berada pada top struktur manajemen pemerintahan, sedangkan yang menerima justru para kaum muda/staf, baik karena idealis, merasa tidak nyaman dengan model yang ada, tertekan, atau justru dirugikan dengan penerapan model yang ada. Disisi penyedia/rekanan/pengusaha, justru yang menerima para penyedia baru, penyedia lama tetapi tidak termasuk kelompok penyedia yang kebagian proyek dan penyedia yang berada di top struktur ”high class” pengadaan, sedangkan yang menolak para penyedia kecil dan menengah dan sudah lama terlibat dalam pengadaan dan menikmati hasil pengadaan. Penerapan pengadaan secara elektronik dianggap mematikan rezeki pihak yang kontra, sedangkan pihak yang pro justru menganggap penting untuk memikirkan kualitas, masyarakatlah yang harus diuntungkan, bukan orang perorang atau segelintir orang. Bukankah masyarakatlah yang sejatinyanya berhak menikmati uang mereka yang sudah disetorkan kepada negara, yang dikenal sebagai pajak untuk pembangunan. Adalah wajar kalau kemudian publik menuntut kualitas pelayanan terbaik sebagai konsekuensi balasan atas pelaksanaan kewajiban membayar pajak tersebut. Dalam kasus seperti ini, LPSE berperan dalam mendobrak kemapanan atau status quo. Dengan penerapan SPSE diharapkan pengadaan dapat berlangsung secara efektif, efesien, transparan, terbuka, bersaing, adil/tidak diskriminatif dan akuntabel, sehingga tidak terjadi lagi, penyedia bekerjasama dengan oknum pemerintah melakukan cara-cara menyimpang untuk memenangkan suatu proyek pengadaan, korupsi yang justru merugikan pemerintah dan masyarakat. Dalam persfektif lain, posisi LPSE yang berada di tengah-tengah antara panitia pengadaan (pemerintah) dengan penyedia, menjadi filter untuk menghindari kontak langsung yang dapat menyebabkan proses pengadaan berjalan ke arah menyimpang. LPSE dapat menjadi ”wasit” yang baik dalam proses pengadaan barang/jasa. Peran fasilitasi layanan tersebut, semakin dipertegas melalui keanggotaan LPSE harus bebas dari panitia pengadaan untuk menghindari konflik kepentingan dan semua proses pengadaan tidak terlibat bertanggungjawab, kewajiban LPSE hanya sebatas fasilitasi dan menjaga sistem pengadaan berjalan sesuai ”rule of law” yang berlaku. Kondisi ini apabila diterapkan secara benar dapat menjamin pengadaan berlangsung efektif (tujuan pengadaan dapat tercapai sesuai apa yang ditetapkan, barang yang dihasilkan sesuai kebutuhan dan spesifikasi sesuai syarat-syarat kualitas yang ditetapkan), efesien, baik dari sisi waktu maupun pembiayaan, karena persaingan harga penawaran menjadi sangat kompetitif sesuai harga pasar yang berlaku, sehingga penyedia yang menawarkan rasionalitas harga yang semakin mendekati harga pasarlah yang dipastikan menang pengadaan, transparan melahirkan pengawasan semesta, dimana publik dapat terlibat secara aktif dalam monitoring dan mengawasi pengadaan, sehingga tindakan preventif dapat dilakukan apabila suatu pengadaan terindikasi menyimpang, bersaing, kompetisi secara sehat dengan standar kepatuhan pada ”rule of law” secara bersama-sama dengan menawarkan kualitas terbaik, adil/tidak diskriminatif, semua penyedia dapat terlibat berpartisipasi dalam proses pengadaan sepanjang memenuhi persyaratan, tidak ada pengkotakan penyedia tertentu, siapa saja memiliki kesempatan yang sama untuk memenangkan pengadaan, dan akuntabel. Pengadaan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik secara lebih baik dan legal, baik dari sisi proses administrasi, hukum maupun keuangan. Sementara secara psikologi dan sosial, pengadaan barang/jasa secara elektronik melalui LPSE dapat meminimalisir pengaruh buruk pengadaan secara konvensional, lebih-lebih di era reformasi yang mengedepankan hukum sebagai panglima. Perilaku dan tindakan menyimpang dalam pengadaan secara konvensional, secara psikologi kerap menyebabkan pelaku pengadaan susah tidur, was-was, kecemasan menahun, phobia melihat polisi dan jaksa, bahkan bisa berperilaku seperti orang gila dan bahkan bunuh diri. Sementara secara sosial, melahirkan sifat menutup diri terhadap lingkungan sosial, baik secara pribadi maupun keluarga, terisolasi secara sosial, dihukum secara sosial oleh masyarakat, yang dampak lanjutannya ternyata lebih parah dari hukum formil, terlibat narkoba sebagai alternatif jalan keluar bahkan hingga kehancuran rumah tangga, menjadi subyek dari pelaku-pelaku masalah sosial lainnya. Dengan penerapan pengadaan secara elektronik, para pelaku, baik aparatur maupun penyedia tidak ada terikat janji atau bekerjasama, berkontribusi untuk melakukan cara-cara irrasional untuk memenangkan pengadaan, dengan penekanan memilih diantara yang memberi keuntungan pribadi dan kelompoknya, karena hubungan pertemanan, ikatan emosional, penekanan dan sebagainya. Dengan pengadaan secara elektronik, pelaku pengadaan fokus pada pelaksanaan tugas sesuai kewenangannya masing-masing, pengadaan dipercayakan pada sistem yang berlaku. Dengan kondisi ini LPSE berperan menjaga kenyamanan dan keharmonisan kehidupan psikologi dan sosial pelaku-pelaku pengadaan. Kehidupan pribadi nyaman, tidak ada kecemasan, was-was, no-phobia pada polisi dan jaksa, tidur nyenyak, sementara kehidupan sosialnya, keharmonisan rumah tangga terjaga, hubungan dengan mayarakat sekitar terjalin secara baik, kewajiban-kewajiban religius dan sosial dapat dilaksanakan, hubungan dengan sesama terjalin erat dan harmonis. Singkatnya, kehidupan para pelaku-pelaku pengadaan menjadi lebih beradab, bermartabat dan manusiawi. Dengan semakin baiknya pengadaan diharapkan kualitas barang/jasa yang dihasilkan pun akan semakin baik. Siapa yang diuntungkan dengan proses pengadaan yang baik dan menghasilkan barang/jasa yang semakin berkualitas, tentu tidak saja para pelaku pengadaan, baik aparatur (Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran, Pejabat Pembuat Komitmen, Unit Layanan Pengadaan, Layanan Pengadaan Secara Elektronik, Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan) maupun Penyedia, dimana masing-masing pihak telah berkontribusi positif dalam pengadaan yang semakin baik dan berkualitas. Lebih dari itu, masyarakatlah yang sangat diuntungkan, karena kualitas barang./jasa yang dihasilkan sesuai kebutuhan dan standar kualitas yang ditetapkan. Dengan semakin berkualitasnya barang/jasa yang dihasilkan akan semakin memperpanjang umur barang/jasa dimaksud, menimbulkan kepuasan publik, meningkatkan kepercayaan masyarakat, dan secara tidak langsung membangun kesadaran publik, sehingga dapat terlibat aktif dalam proses pembangunan daerah, termasuk menjaga hasil-hasil pembangunan tersebut. Dengan semakin berkualitasnya pengadaan barang/jasa jelas menjadi pintu masuk bagi terciptanya clean and good governnance, yaitu : pemerintahan yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme, pemerintahan yang mengayomi, melindungi, mendorong, memfasilitasi, membangun dan melayani masyarakatnya.

PENGADAAN MELALUI LPSE BEBAS KORUPSI?
Jaminan pengadaan melalui LPSE bebas korupsi, tentu masih perlu dibuktikan. Setidaknya, sebagai sebuah sistem yang digerakkan oleh manusia, akan sangat tergantung bagaimana moralitas, sikap profesional, dan integritas ”the man behind the gun?”, yang menjalankan sistem tersebut, dan secara kasat mata, walaupun tidak sehebat melalui model konvensional dalam LPSE teridentifikasi beberapa pintu masuk korupsi dan kejahatan baru dalam pengadaan barang/jasa dalam format dan gaya baru, yaitu : secara internal, pintu-pintu dimaksud antara lain : 1. Kuatnya peran dan wewenang admin bisa bernilai positif atau negatif. Positif apabila admin memiliki moralitas, sikap profesional dan integritas yang tinggi, menjadi agen pendukung pemberantasan korupsi melalui LPSE, tetapi bernilai negatif apabila admin melacurkan diri, bekerjasama dengan penyedia, menjadi antek penyedia, dalam usaha memperlancar keikutsertaan dalam pengadaan secara elektronik melalui ”jalur belakang”, salah satu contohnya : mengatur sistem agar penawaran penyedia diakomudir walaupun sudah lewat waktunya. Kalau hal ini terjadi maka pemberantasan korupsi sebagai tujuan diberlakukannya pengadaan secara elektronik hanyalah omong kosong belaka. Walaupun secara kesisteman hal tersebut akan tercatat dan bisa dideteksi, tetap saja menjadi peluang bagi pihak yang memanfaatkannya. 2. Lambatnya proses agregasi, memunculkan kesempatan korupsi di wilayah registrasi dan verifikasi. Hal ini terjadi, karena penyedia memiliki kepentingan untuk mengikuti pengadaan secara elektronik sementara yang bersangkutan belum lengkap dalam registrasi dan verifikasi. Kongkalikong antara penyedia dan verifikator dapat terjadi pada tahap ini, walaupun belum lengkap tetapi oleh verifikator diluluskan agar penyedia dapat mengikuti pengadaan secara elektronik, dan selalu saja ada tawar menawar terhadap suatu kegiatan ”dibawah meja”. Secara ekternal, di tingkat penyedia, penerapan LPSE ternyata membawa phobia tersendiri, setidaknya pemikiran bahwa proyek yang biasanya mereka dapatkan karena KKN dikhawatirkan akan hilang oleh pihak lain, yang menyodorkan kualitas dan kompetensi sebagai penyedia. Ketakutan tersebut sangat beralasan, karena masih lemahnya faktor modal, SDM, dan manajemen perusahaan, hal ini justru sangat terasa bagi penyedia lokal yang justru kebanyakan menang lelang bukan karena pertimbangan kompetensi dan kualitas tetapi lebih pada kedekatan dan sogok menyogok, baik pada proses lelang, saat pelaksanaan hingga hasil akhir proyek, terdapat simbiosis mutualisme, kontraktor untung, oknum pemilik proyek/pemerintah untung. Kondisi ini tentu sangat merugikan rakyat, karena pikiran kotor untuk berbagi ”kue proyek”, kontraktor berKKN mesra dengan oknum pemerintah?pemilik proyek dengan manipulasi pelaksanaan proyek, menurunkan spesifikasi teknis, kebohongan bahkan hingga proyek fiktif. Kondisi ini, dalam tataran aplikasi di lapangan mulai menggejala ”premanisme di akar rumput”. Pihak pemenang/rekanan yang berasal dari luar daerah/lokasi pengadaan, akan diganggu oleh orang-orang penyedia yang kalah dalam pengadaan. Bentuk gangguan tersebut berupa premanisme di tingkat pelaksanaan pengadaan barang/jasa, khususnya untuk pekerjaan-pekerjaan konstruksi. Gangguan-gangguan tersebut antara lain : sabotase, perusakan, menghalang-halangi pekerjaan, bahkan tindakan kriminalitas pada pelaku-pelaku proyek di lapangan. Jadi kalau dulu premanisme pengadaan berlangsung di pintu masuk pengadaan (waktu proses lelang berlangsung) sekarang bergeser di tingkat pelaksanaan pekerjaan. Konsekuensinya para pelaku penyedia dituntut memproteksi pekerjaannya, tentunya juga dengan mengamankan proyeknya dengan menggunakan preman-preman lokal minimal sampai hasil pekerjaan tersebut diserahkan kepada pemerintah daerah, selaku pemilik proyek. Hal ini tentu saja berdampak timbulnya cost baru untuk membiaya preman-preman tersebut sehingga biaya pengadaan kembali tidak efesien. Hal lain, hingga saat ini juga secara operasional, pengadaan secara elektronik juga masih dilaksanakan dalam skala terbatas, hanya berkisar pada e-tendering, dan belum mengakomudir pengadaan langsung. Padahal sudah menjadi rahasia umum, yang namanya pengadaan langsung, yang ternyata jumlahnya cukup besar, menjadi ”kue proyek” yang sangat lezat untuk diperebutkan oleh aparatur dan penyedia. Kalau proyek-proyek dengan nilai milyaran membutuhkan kualifikasi dan keahlian tertentu, pengadaan langsung justru banyak dimainkan para ”makelar proyek” yang ternyata bahkan aparatur turut ”bermain” menjadi pelaksana proyek, yang jelas-jelas bertentangan dengan perpres 54/2010, namun sayangnya, hingga sekarang pun masih dilaksanakan oknum aparatur, walaupun dengan jalan ”kucing-kucingan”, tetapi di internal kantor/instansi yang bersangkutan jelaslah ”tahu sama tahu” saja, yang penting selalu ada ”uang tutup mulut” yang dibagi secara bersama atau dinikmati bersama, baik dengan cara makan bersama, pembagian baju, sarung, atau bingkisan bernama ”paket lebaran”. Kalau model pengadaan langsung belum menemukan regulasi yang jelas, sama saja kita memelihara ”tikus berdasi” yang akan menggerogoti uang publik bernama ”korupsi”.

SUATU ALTERNATIF PEN DEKATAN
Sebagai sebuah model baru maka pengadaan secara elektronik melalui LPSE membutuhkan kerjakeras dan kerja bersama, baik aparatur pemerintah maupun penyedia, termasuk masyarakat luas. Dalam tataran kebijakan dan pembinaan maka LKPP wajib terus melakukan perbaikan regulasi yang mengikat, komprehensif dan menyeluruh secara terus menerus yang mengatur mekanisme pengadaan secara elektronik yang diakui secara bersama sebagai ”rule of the game”. Untuk menerapkan pengadaan secara elektronik yang bebas korupsi, memberi penekanan bahwa LPSElah yang menjadi garda terdepan agar pengadaan bebas korupsi, karenanya secara terstruktur perlu ada kerjasama yang lebih komprehensif antara LKPP dan LPSE se-Indonesia, secara horizontal juga perlu ada kerjasama dan koordinasi antar LPSE, bagaimanapun mengenalkan suatu model baru tidaklah semudah membalik telapak tangan. Suatu alternatif pendekatan yang dapat dilakukan agar pengadan secara elektronik menjadi model baru yang menjamin pengadaan bebas korupsi antara lain dilakukan dengan cara : pertama, proses adopsi model baru tersebut membutuhkan kesadaran bersama, pemerintah dan penyedia, dan kesadaran harus dimulai dengan perubahan mindset, bahwa model baru tersebut diyakini mampu membawa perubahan ke arah lebih baik, dan tentu saja mampu membuat pengadaan menjadi lebih berkualitas dan bebas korupsi. Karenanya, semua pihak pelaku pengadaan harus memiliki cara pandang yang sama, membuka diri pada perubahan, terus menerus memperbaharui diri, melakukan perbaikan dan diaplikasikan dalam perbuatan dan tindakan. Ketika melakukan pengadaan, yang menjadi sandaran utama adalah kualitas dan kepentingan publik diatas segalanya. Mudah memang dikatakan, tetapi sangat sulit diaplikasikan, apabila anda terlibat berkepentingan dengan pengadaan tersebut, khususnya kepentingan ekonomi, tetapi ketika kita membebaskan diri dari berbagai kepentingan, yang sifatnya orang perorang atau kelompok, pasti apa yang menjadi tujuan pengadaan, yaitu orientasi kualitas dan kepentingan publik, niscaya semuanya menjadi mudah dan dilapangkan. Kedua, untuk menjadi pemenang dalam pengadaan secara elektronik yang sandaran utamanya pada kualitas maka penguatan kapasitas perusahaan dan SDM merupakan modal utamanya. Penguatan kapasitas perusahaan dan SDM merupakan modal kemandirian, yang mampu menjangkau berbagai peluang pengadaan semakin terbuka lebar. Ketiga, pengadaan secara elektronik harus menonjolkan aspek kualitas dan pelayanan, sehingga akan melahirkan keunggulan, baik ecara kompetitif maupun komparatif. Keunggulan menjadi aset bagi penyedia untuk dijual dalam memenangkan pengadaan secara elektronik. Keempat, reward and punishment bagi aparatur pemerintah pelaku pengadaan, penghargaan dapat bernilai ekonomi maupun sosial secara layak agar terwujud hidup yang sejahtera berkeadilan, sejahtera secara legal melalui insentif hasil kerja keras dalam pengadaan, bukan dari pungli, sogok menyogok, amplop bawah meja, ATM, dan sebagainya, sementara hukuman harus diterapkan apabila pelaku pengadaan bermain-main dengan hukum, dan terbukti menyalahgunakan amanah yang diberikan, melakukan korupsi, baik sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama. Kelima, semua itu dilakukan dengan semakin intensifnya kerjasama melalui semangat kebersamaan para pihak yang terlibat dalam pengadaan secara elektronik, baik di tingkat institusi perumus kebijakan dan pembinaan (LKPP) maupun di tingkat pelaksana (PA/KPA, PPK, ULP, LPSE dan penyedia). Keenam, diatas semua itu adalah menjunjung tinggi moralutas berlandaskan nilai religius. Sebagai ummat beragama, semua mengakui adanya Tuhan dan hari kemudian, neraka dan surga. Satu keyakinan bahwa apa yang dilakukan saat ini akan sangat menentukan tempat kelak dikemudian hari, surga atau neraka, dan korupsi dalam pengadaan hasilnya tanpa pertobatan adalah neraka, itulah konsekuensinya. Pendekatan sebagaimana tersebut di atas menjadi alternatif untuk menjamin pengadaan secara elektronik melalui LPSE menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi di negara bernama ”Indonesia”.

KESIMPULAN
Mewujudkan pengadaan barang/jasa pemerintah secara efektif, efesien, transparan, terbuka, bersaing, adil/tidak diskriminatif dan akuntabel tidak akan berhasil tanpa keterlibatan semua pihak, baik aparatur (PA/KPA, PPK, ULP, LPSE) maupun penyedia. Selain itu, dukungan terhadap pengadaan dengan menggunakan sistem yang lebih kredibel menjadi suatu tuntutan yang harus dilaksanakan, dan LPSE menjadi satu pilihan garda terdepan untuk mewujudkan pengadaan yang kredibel, pengadaan yang bebas korupsi, sebagai langkah strategis mewujudkan clean and good governance di Lingkup Pemerintah Pusat, Provinsi maupun Kabupaten/Kota se-Indonesia, sehingga pada akhirnya dapat mewujudkan Indonesia yang bersih, Indonesia yang berkualitas, Indonesia yang sejahtera. Semoga.

Senin, 02 Januari 2012

again: POVERTY (by Rakhmani, S.Sos. M.Si)

in 2011 recorded 39 million more poor people in Indonesia, is still quite large when compared with the population reaching 250 million more. still high level of poverty, while not a few budgets have been issued to deal with it, still it does not decrease more in the range of 1.5 percent. The main reason of course there are many policies, programs and activities were not well targeted. This course gives an indication of erroneous planning of poverty reduction are made. The error stems from the use of information that is not valid and accurate. preparation of plans limited to the use of the figures behind the desk without looking at the substance of poverty itself. how to understand poverty if no review is multi-disciplinary approach, economic, social, cultural, and even defense. poverty is not only economic problems, poverty occurs because terhimpitnya society in which the structure does not give the poor flexibility to utilize the potential of self and nature in which they live. poverty consciously or unconsciously has been designed, created and maintained by the parties who want poverty persists as a form of exploitation of a new style of slavery in today's modern era. whereas in the religious philosophy of the poor themselves immersed belief that every human being is basically the same, was born with nothing and returned to the bosom of his god, no nothing. that is, work hard at what makes humans different in the end, so that poverty is not limited to a destiny that must be mourned, but there is poverty because of inequalities mastery of assets and access to resources as a result of unjust structures that are running. It could be a regulatory structure policies that do not pro-poor but more pro rulers and businessmen, not the people but the pro market and pro-free market capitalists. Another thing, of course, the policy of uneven development, the distinction between town and country priorities, between center and periphery, and so on. what impact these injustices, poverty is the estuary of the excess negative imbalance of development, after-effects is the development of social problems (beggars, vagrants, prostitution, child exploitation, human trafficking, criminality, and so on), all of which ultimately cause problems in a state of instability, disruption of national security, adverse impact "chaos" caused riots that occurred that caused the outbreak of unity as a nation.

Minggu, 02 Oktober 2011

indonesia berkarakter

there is an interesting, when a friend discussing a banner in the courtyard of an office, in a whisper he said "... Indonesia character", the sentence was pronounced with doubt, is it true? now to be honest to admit, Indonesia is far from ownership "attitude of character" let alone implement it, further than that the second principle of Pancasila, as one of the basic joints of the state and society, has not been actualized in practice. many facts, we are sad to see the condition of living in a society and nation. corruption, as a common enemy, it is still increasingly rampant, violence and even the removal of life, which is clearly one form of life we do not respect the right of a person / community has become everyday life, poverty, unemployment, neglect of people's rights in education / health, and so on, are not characteristic it shapes us as part of a nation called Indonesia. we've been blinded by wealth, power and reliability. we feel it makes them legitimate media to achieve the dream of egoism. it's all because we've closed the door for good heart, kindness in your life together under the Pancasila, so all that happened was the action - reaction to the exploitation of inter-class above and below, the class center - periphery, and so on.
Over time, what do we form these days can be a time bomb, which eventually eroded the unity which we have built. unity that the founding fathers perspective to become a sovereign state, just and prosperous for all people, not for some people.
Indonesia character could not be limited to the words, he must be actualized in real life, character gives an indication of a sign of the humanist self, respect, tolerance, assertive, open, has a vision for the future and democratic. character traits also put an emphasis on aspects of high civilization, that human character is that civilized human beings ... human Pancasila. if we have to believe and desire to realize human character, obviously have to start from the mind which is then actualized in the attitudes, behaviors and actions in the life of self, family, society, nation and state, and it should start from ourselves. beings be characterized, for then create families of character, in the later stages of character will come true community, the state of character even in the life of the world that character.
with a human character, there will be no more violence, we will respect individual differences and develop tolerance, want to care and share, to respect the rights and obligations, as well as the commander made ​​the law and doing good is much more important than doing something bad, evil, terror, and so forth, so Indonesian civilized character who gave birth to Indonesia, Indonesia is peaceful, and prosperous Indonesia, how do you think?

Senin, 26 September 2011

family's role in combating corruption.

corruption ensnare a person who was one of the causes stem from the family. How? imagine, you're in that position. when your income is not sufficient variety of household expenditure needs, either for yourself, your wife, your children or, even worse your needs are also used to meet the needs of others, for example: the lever you, your laws, your brother , your relatives, and others ... how do you able to fulfill it? of course you are looking for extra income alternatives. way, be positive, could also be negative. in corruption, then your expenses are covered by revenues that are unlawful, illegal, negative, such as: abuse of position / power to get you something, might be: money, goods or other things. it turns out, with the action of your income could actually double your income compared with the official for a month. not to mention if your wife demanding jewelry, designer furniture to fill the spaces in your house that has been built with very grand, the demands of your children to have a motor vehicle (car, motorcycle, etc), equipment yourself (clothes, accessories) , lecture coveted place with expensive fees, parents who need to be given pleasure and service (as a form of existence of your success), would require money, which you get from an improper way.
various thoughts, attitudes and behaviors into your media changes from good guy to bad guy, from straight to winding, the result is really ironic in addition to bearing the burden of psychological (not soundly asleep, edgy work, etc), psychosocial (hated by society, labeled negative and isolated from society), you also risk jail for violating the law. 've got you from that risk? My advice, think a thousand times, never do, just give understanding to your own and your small family and large, accept what is available today as a gift, and fortune have set the Lord, no need to use unlawful means just for fun moment when life on earth, you and hopefully we can all reap the wisdom behind its simplicity, may the blessings of our lives, because there is death after life, and there is life after death, there are calculations that determine, where do we will be placed, heaven or hell is choice, and in the world, this moment, if not all of that yesterday we have to chose, how do you choice?

how to eradicate corruption?

how to eradicate corruption? short answer from yourself "do not want corruption" that was the problem not all want to say "no", because of factors including greed plus establishment. if this factor which appears so any deterrent effect the death penalty though, will not be able to change the paradigm change of mindset, attitudes, behaviors and acts of corruption. mental corruption must be scraped out of each new individual then corruption can be eradicated. will to eradicate the self-start, which then accumulates into one group / community, society, until a country. This condition occurs when certain corruption will gradually be diminimaliris even eliminated. the question is, would we do that? starts from ourselves? how about you ...

Minggu, 25 September 2011

Poverty?

poverty? can be eliminated? answers can be hard work, but need to be preceded by the commitment, enthusiasm and motivation to change, life is a struggle and poverty is not destiny, but we (ourselves alone or together, the institutional, organizational) may be a cause of poverty it happened, therefore we also have to deal with it. no one want to be called poor, but if no one called the poor is certainly no so-called rich, this is one of mindset that poverty trap trapped in our thinking together, we consider the poor and rich is the vocabulary for a difference, and we are taught to discriminate distinguish, therefore we need to perpetuate poverty as a form of existence "I am rich", ironic, thought it traps us in a cage to require that "poverty does not need to be eradicated" and "let poverty still exist", because of changes in welfare means changing the position of establishment already deeply rooted in individualism "I'm rich, and you are nothing", poverty is still poverty behind it, stored existence, the ego, economic, political ... etc, that can be utilized for power or preserve and perpetuate the existence of the establishment without limit, once again ironic if not tragic ...

corruption is a common enemy

corruption is a common enemy, combating it requires hard work and sincerity, self-start, to say no when things are going to bribe or to say no when there is a gap to make the deviation of power, there will never be corruption if you do not want, however they tried to suppress, influence, even threatening, however what we do in the world eventually ends up in death and the journey does not stop, we headed to a second life in the last world later in the search reaches of hell or heaven, how do you choice?